BUKU KEKERINGAN
[Type the document title]
Oleh
Dwi Wijanarko
|
|
|
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami panjatkan, karena berkat rahmat Allah
SWT penulis mampu menyusun dan membuat buku ini. Buku yang berjudul Kesiapsiagaan
Dan Bencana Kekeringan ini merupakan hasil penelitian skripsi atau tugas akhir
yang berlokasi di Kecamatan Weru,
Kabupaten Sukoharjo, Propinsi Jawa Tengah pada Tahun 2013.
Buku ini banyak membahas tentang pengertian atau definisi
mengenai bencana dan analisis tingkat risiko bencana kekeringan sehingga dapat
digunakan sebagai refrensi untuk penelitian selanjutnya mengenai bencana
kekeringan.
Apabila dalam buku ini masih banyak kekurangan baik dalam hal
penyajian, penyusunan atau isi, kami mengharap kritik dan saran dari semua
pihak untuk memperbaiki buku ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami.
Semoga buku ini bermanfaat untuk semua pihak. Terimakasih.
|
Surakarta, 10 Mei 2013
Penulis
Dwi Wijanarko
|
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR ......................................... i
DAFTAR ISI ........................................................ ii
ABSTRAK ........................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................... 1
B.
Rumusan Masalah .................................... 4
C.
Tujuan Penelitian....................................... 5
D.
Manfaat Penelitian .................................... 5
BAB II : LANDASAN TEORI
A. Bencana ....................................................... 7
B. Bencana Kekeringan.................................... 9
C. Risiko Bencana Kekeringan......................... 9
D. Kesiapsiagaan .............................................. 0
BAB III : ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A.
Kecamatan Weru ....................................... 4
B.
Pengujian Intrumen Penelitian................... 0
C.
Diskripsi
Data............................................ 4
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan................................................ 2
B. Saran........................................................... 5
DAFTAR PUSTAKA............................................ 1
LAMPIRAN.......................................................... 1
ABSTRAK.
Bencana kekeringan selalu terjadi sepanjang tahun di Jawa Tengah. Bencana
kekeringan juga terjadi di Kecamatan
Weru Seperti yang tercatat di BPBD Kabupaten Sukoharjo puncak musim kemarau
Tahun 2012.
Bencana kekeringan yang
terjadi setiap tahun terlihat tidak begitu besar akibatnya dalam bentuk korban
jiwa tetapi dalam bentuk kerugian materi
bencana kekeringan menyebabkan kerugian yang tidak sedikit. Buku ini menjelakan
pengertian dan teknik analisis tingkat dan indeks meliputi kesiapsiagan masyarakat,
ancaman bencana kekeringan, kerugian bencana kekeringan, kapasitas dan risiko
bencana kekeringan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini mengunakan
pendekatan metode kuantitatif deskriptif.
Hasil penelitian di Kecamatan Weru, tingkat ancaman bencana
kekeringan termasuk dalam tingkat sedang, hal tersebut dikarenakan indeks
ancaman masuk dalam tingkat rendah dan indeks penduduk terpapar dalam tingkat
tinggi. Tingkat kerugian Kecamatan Weru terhadap bencana kekeringan
masuk dalam tingkat tinggi. Tingkat kapasitas Kecamatan Weru masuk dalam tingkat rendah
sedangkan tingkat risiko bencana kekeringan di Kecamatan Weru masuk dalam tingkat tinggi. Kesiapsiagan
masyarakat Kecamatan Weru termasuk dalam
tingkat kurang siap.
Kata kunci : Kesiapsiagan Masyarakat, Bencana
Kekeringan.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Bencana
kekeringan selalu terjadi sepanjang tahun di Jawa Tengah. Pada tahun 2001-2007
wilayah kekeringan di Jawa Tengah terjadi pada kondisi yang sangat rawan yaitu
di Kabupaten Cilacap, Wonogiri, Sukoharjo, Sragen, dan Rembang. Sedangkan yang
termasuk katogori rawan adalah Kebumen, Purworejo, Klaten, Boyolali,
Karanganyar, Blora dan Pati. Untuk daerah yang masuk katagori berpotensi kekeringan
adalah Brebes, Tegal, Banyumas, Kendal, Semarang, Grobogan dan Kudus (Henny pratiwi adi, 2011)
Definisi kekeringan menurut Balai Hidrologi dalam Buku Permasalahan Kekeringan Dan Cara
Mengatasinya (2003), adalah kekurangan curah hujan dari biasanya atau
kondisi normal bila terjadi berkepanjangan sampai mencapai satu musim atau
lebih panjang akan mengakibatkan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan air yang
dicadangkan. Sedang bencana kekeringan adalah peristiwa (dalam hal ini
kekeringan dimana suplai air berkurang atau kebutuhan air meningkat) yang
mengakibatkan suplai tidak memenuhi kebutuhan.
Gambar 1: Peta Risiko Becana Kekeringan
Sumber: Peta BNPB Tahun 2010
Berdasarkan peta indeks risiko bencana
kekeringan BNPB Tahun 2010 diatas
seluruh wilayah provinsi jawa tengah mempunyai resiko tinggi terhadap bencana
kekeringan. Seperti Kabupaten Sukoharjo, Klaten, Tegal, Grobokan Cilacap,
Brebes. Seluruh kabupaten di jawa tengah berpotensi terjadinya bencana
kekeringan.
BPBD Kabupaten Sukoharjo mencatat puncak
musim kemarau Tahun 2012, mengakibatkan beberapa dukuh di , Kecamatan Weru, Kabupaten
Sukoharjo mengalami
kesulitan air bersih. Maka setelah menerima laporan dari Camat Weru, BPBD
Kabupaten Sukoharjo segera menindaklanjuti yaitu berkoordinasi dengan PDAM
Sukoharjo dan Bakorwil II Surakarta untuk segera dropping air bersih
ke wilayah kekeringan dimaksud.
Dalam
harian solopos.com edisi minggu, 12 Agustus 2012 kekeringan Karangmojo dijatah 12 tangki per pekan.
Warga Sukoharjo terdampak bencana kekeringan di Kecamatan Weru, mendapat penyaluran air bersih
sebanyak 12 tangki per pekan. Kepala Dusun (Kadus) III Ngadisari,
Ngateman menyebutkan bantuan air bersih diberikan empat tangki setiap
penyaluran dengan tiga kali pengiriman dalam satu pekan. Namun khusus di
dukuhnya, dropping air bersih sebanyak satu tangki setiap pengiriman untuk
sekitar 34 kepala keluarga (KK) di RT 001/RW 009.
Melihat kejadian tersebut maka timbul
banyak pertanyaan bagaimana konsep Manajemen bencana dan pengelolaan bencana
yang meliputi kegiatan pada saat pra bencana, saat bencana dan pasca bencana
tersebut perlu dibuat kebijakan oleh Pemerintah Daerah dan jajarannya dalam
menangani kekeringan, mengapa terjadi bencana
kekeringan, seberapa besar tingkat ancaman dan risiko bencana kekeringan di suatu
daerah dan bagaimana kesiapsiagaan masyarakat di suatu daerah. Maka untuk
menjawab salah satu pertanyaan tersebut peneliti mencoba untuk
mendiskripsikanya dengan mengadaakan penelitian tentang Kesiapsiagaan Masyakat
Terhadap Bencana Kekeringan.
B. Rumusan Masalah
Semakin
kompleknya dampak yang dapat terjadi dari bencana kekeringan, maka perlu adanya
manajemen bencana yaitu kesiapsiagaan bencana terhadap kekeringan. Dengan
dasar dan pertimbangan latar
belakang tersebut maka dapat kita rumuskan suatu
permasalahan sebagai berikut:
1.
Seberapa besar tingkat ancaman bencana kekeringan (kekeringan meteorologi) ?
2.
Bagaimana
tingkat risiko bencana kekeringan?
3.
Bagaimanakah kesiapsiagaan
masyarakat terhadap bencana kekeringan?
C. Tujuan
Penelitian
Tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1.
Mengetahui
tingkat ancaman bencana kekeringan (kekeringan meteorologi).
2.
Mengetahui
tingkat risiko bencana kekeringan.
3.
Mengetahui kesiapsiagaan masyarakat
terhadap bencana kekeringan di suatu daerah.
D. Manfaat
Penelitian
Setiap penelitian diharapkan dapat berguna untuk berbagai pihak yang terkait.
diharapkan kegunaan yang akan diperoleh adalah sebagai berikut :
1. Sebagai sumbangan bagi ilmu sosial,
khususnya ilmu geografi. Penelitian ini diharapkan dapat
memperkaya khasanah ilmu
geografi baik bagi ilmu murni ataupun ilmu pendidikan.
2. Dapat memberikan informasi kepada semua
pihak yang ingin memanfaatkan
dan mendapatkan informasi dari hasil penelitian ini.
3. Dapat dipakai sebagai bahan masukan bagi
instansi atau lembaga yang berkompeten, terutama bagi Pemerintah Daerah dan Badan Penangulangan Bencana Daerah setempat.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Bencana
Terdapat banyak
pengertian yang berbeda mengenai bencana yang digunakan oleh para praktisi di
dunia. Berikut ini merupakan beberapa pengertian mengenai bencana dan bencana
alam:
Menurut Charlotte Benson, dkk (2007:120), bencana
adalah berlangsungnya suatu kejadian bahaya yang luar biasa yang menimbulkan
dampak pada komunitas-komunitas rentan dan mengakibatkan kerusakan, gangguan
dan korban yang besar, serta membuat kehidupan komunitas yang terkena dampak
tidak dapat berjalan dengan normal tanpa bantuan dari pihak luar.
Bencana adalah
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang menyebabkan gangguan serius pada
masyarakat sehingga menyebabkan korban jiwa serta kerugian yang meluas pada
kehidupan manusia baik dari segi materi, ekonomi maupun lingkungan dan
melampaui kemampuan masyarakat tersebut untuk mengatasi menggunakan sumber daya
yang mereka miliki, di dalam Buku Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat oleh Yayasan
IDEP (2007:06).
Carter dalam
bukunya Disaster
Management-A Disaster Managers’s Handbook
(1991), bencana adalah suatu kejadian, alam atau buatan manusia, tiba-tiba atau
progresive, menimbulkan dampak yang dahsyat (hebat) sehingga komunitas
(masyarakat) yang terkena atau terpengaruh harus merespon dengan tindakan-tindakan
luar biasa.
Bencana dapat disimpulkan suatu kejadian yang ditimbulkan oleh
faktor alam maupun non alam yang terjadi secara bertahap atau mendadak yang
mengakibatkan kerugian seperti kehilangan jiwa manusia, kehilangan harta benda,
serta kerusakan lingkungan.
1.
Manajemen Bencana
Manajemen bencana dalam Buku Penanggulangan Bencana Berbasis
Masyarakat oleh Yayasan
IDEP (2007:xv) adalah proses yang sistematis dalam menggunakan
keputusan-keputusan administratif, lembaga, keterampilan operasional dan
kapasitas untuk menerapkan kebijakankebijakan, strategi-strategi dan kemampuan penyesuaian
masyarakat dan komunitas untuk mengurangi dampak bahaya alam dan bencanabencana
lingkungan dan teknologi terkait. Ini terdiri dari semua bentuk aktifitas,
termasuk tindakan-tindakan struktural dan non-struktural untuk menghindarkan
(pencegahan) atau membatasi (mitigasi dan kesiapsiagaan) dampak merugikan yang
ditimbulkan oleh bahaya.
Siklus manajemen bencana secara umum dalam IDEP (2007:07)
Gambar 2: siklus
penanggulangan bencana
Sumber: Buku Panduan Penanggulangan Bencana
Berbasis Masyarakat Tahun 2007
a.
Pencegahan
Pencegahan adalah upaya
yang dilakukan untuk menghilangkan sama sekali atau mengurangi ancaman, Yayasan IDEP (2007:08).
b.
Mitigasi atau pengurangan
Mitigasi atau pengurangan
adalah upaya untuk mengurangi atau meredam risiko. Kegiatan mitigasi dapat
dibagi menjadi dua, yaitu fisik dan nonfisik, Yayasan
IDEP (2007:08).
c.
Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan adalah upaya
menghadapi situasi darurat serta mengenali berbagai sumber daya untuk memenuhi
kebutuhan pada saat itu. Hal ini bertujuan agar warga mempunyai persiapan yang
lebih baik untuk menghadapi bencana, Yayasan
IDEP (2007:08).
d.
Tanggap darurat
Tanggap darurat adalah
upaya yang dilakukan segera setelah bencana terjadi untuk mengurangi dampak
bencana, seperti penyelamatan jiwa dan harta benda, Yayasan IDEP (2007:09).
e.
Pemulihan
Pemulihan adalah upaya
yang dilakukan untuk mengembalikan kondisi hidup dan kehidupan masyarakat
seperti semula atau lebih baik dibanding sebelum bencana terjadi melalui
kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, Yayasan IDEP (2007:09).
f.
Pembangunan berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan
adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mempertimbangkan
faktor risiko bencana sehingga masyarakat akan mampu mencegah, mengurangi,
menghindari ancaman atau bahaya dan memulihkan diri dari dampak bencana,
Yayasan IDEP (2007:09).
B.
Bencana Kekeringan
Definisi dari kekeringan menurut Balai Hidrologi (2003:2)
adalah kekurangan curah hujan dari biasanya atau kondisi normal bila terjadi
berkepanjangan sampai mencapai satu musim atau lebih panjang akan mengakibatkan
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan air yang dicanangkan. Dengan demikian,
kekeringan tersebut ada dalam konteks iklim yang mengandung pengulangan dan
terjadi pada semua rezim iklim, di wilayah dengan curah hujan kecil maupun
besar. Penyimpangan yang terjadi bersifat sementara tidak seperti wilayah
kering lainnya (aridity) yang iklimnya bersifat permanen dan bercurah
hujan kecil.
1.
Jenis
Kekeringan
Menurut Henny Pratiwi Adi
(2011:02) berdasarkan penyebab dan dampak yang ditimbulkan, kekeringan diklasifikasikan
sebagai kekeringan yang terjadi secara alamiah dan kekeringan akibat ulah
manusia. Kekeringan alamiah dibedakan dalam 4 jenis kekeringan, yaitu :
a.
Kekeringan Meteorologis
Kekeringan yang berkaitan
dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim di suatu kawasan.
Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama adanya
kekeringan.
b.
Kekeringan Agronomis
Kekeringan yang berhubungan
dengan berkurangnya lengas tanah (kandungan air dalam tanah), sehingga mampu
memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah
yang luas. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah gejala kekeringan meteorologis.
c.
Kekeringan Hidrologis
Kekeringan yang berkaitan
dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur
berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah.
Ada tenggang waktu mulai berkurangnya hujan sampai menurunya elevasi air
sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah.
d.
Kekeringan Sosial Ekonomi
Kekeringan yang berkaitan
dengan kondisi dimana pasokan komoditi ekonomi kurang dari kebutuhan normal
akibat terjadinya kekeringan meteorologi, hidrologi dan agronomi (pertanian).
2.
Penyebab Kekeringan
Menurut Henny Pratiwi Adi
(2011:02) kekeringan tidak hanya disebabkan oleh kurangnya curah hujan saja,
tetapi ada beberapa faktor lain yang berpengaruh, antara lain :
a.
Faktor Meteorologi
Kekeringan yang disebabkan
oleh faktor meteorologi merupakan ekspresi perbedaan presipitasi dari kondisi
normal untuk suatu periode tertentu, karena itu faktor meteorologi bersifat
spesifik wilayah sesuai dengan iklim normal di suatu wilayah.
Selain dipengaruhi oleh dua
iklim pulau Jawa juga dipengaruhi oleh dua gejala alam yaitu gejala alam La
Nina yang dapat menimbulkan banjir dan gejala alam El Nino yang menimbulkan
dampak musim kemarau yang kering.
b.
Faktor Hidrologi
Kekeringan disebabkan
karena bertambahnya koefisien run-off dan berkurangnya resapan air ke dalam
tanah (infiltrasi). Kondisi ini sangat berpengaruh dengan berkurangnya air yang
meresap ke dalam tanah maka variabilitas aliran sungai akan meningkat dan pada
musim kemarau berkurang pula debit air pada sungai-sungai sebagai sumber air
yang menyebabkan kekeringan di bagian hilir sungai tersebut.
c.
Faktor Agronomi
Kekurangan kelembaban tanah
menyebabkan tanah tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode
waktu tertentu, karena itu apabila para petani tidak disiplin dan tidak patuh
pada pelaksanaan Pola Tanam dan Tata Tanam yang telah disepakati dan merupakan
salah satu dasar untuk perhitungan kebutuhan air, maka akan mempengaruhi
efektifitas dan efisiensi pemberian air untuk tanaman.
d.
Faktor Prasarana Sumberdaya
Air
Dengan meningkatnya kebutuhan
air untuk irigasi, air minum, industri, rumah tangga dan berbagai keperluan
lainnya, maka diperlukan ketersediaan air yang lebih banyak pula, sedangkan air
yang tersedia sekarang jumlahnya terbatas.
Di sisi lain prasarana sumber
daya air sebagai penampung air seperti waduk, embung dan lain-lain masih sangat
terbatas, disamping kondisi prasarana yang ada tersebut banyak yang rusak atau
kapasitasnya menurun.
e.
Faktor Penegakan Hukum
Kurangnya kesadaran
masyarakat/aparat dan belum terlaksananya penegakan hukum secara tegas menjadi
salah satu faktor yang mengakibatkan bencana kekeringan yaitu pencurian air,
perusakan sarana dan prasarana sumberdaya air sehingga mengakibatkan kesulitan
pembagian air yang akhirnya menimbulkan kerugian serta konflik antar pengguna
karena tidak terpenuhinya kebutuhan air.
f.
Faktor Sosial Ekonomi
Tingkat sosial ekonomi masyarakat di sekitar
sumber air mempengaruhi tingkat partisipasi dan handarbeni masyarakat akan
pentingnya pelestarian sumberdaya air dan lingkungannya karena tata guna lahan
yang tidak serasi.
C.
Risiko Bencana Kekeringan
Menurut BAKORNAS PB
(Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana di Indonesia, 2006), dalam pengelolaan
bencana (disaster managemen), Risiko bencana adalah interaksi antara
kerentanan daerah dengan ancaman bahaya yang ada. Sedangkan tingkat kerentanan
daerah dapat dikurangi, sehingga kemampuan dalam menghadapai ancaman tersebut
semakin meningkat. Hubungan Risiko
bencana, bahaya, kerentanan dan kemampuan dapat dirumuskan sebagai berikut:
R: Risk ( Risiko Bencana)
H: Hazard (Bahaya)
V: Vurnerability (Kerentanan)
C: Capacity (Kapasitas)
Bahaya adalah suatu kejadian geofisik,
atmosferik (berkaitan dengan atmosfer) atau hidrologis (misalnya, gempa bumi,
tanah longsor, tsunami, angin ribut, ombak atau gelombang pasang, banjir atau
kekeringan) yang berpotensi menimbulkan kerusakan atau kerugian, Charlotte
Benson, John Teigg dan Tiziana Rossetto (2007:120).
Kerentanan adalah potensi untuk tertimpa kerusakan atau
kerugian, yang berkaitan dengan kapasitas untuk mengantisipasi suatu bahaya,
mengatasi bahaya, mencegah bahaya dan memulihkan diri dari dampak bahaya. Baik
kerentanan maupun lawannya, ketangguhan, ditentukan oleh faktor-faktor fisik,
lingkungan sosial, politik, budaya dan kelembagaan, Charlotte Benson, John Teigg dan Tiziana
Rossetto (2007:120).
Kapasitas adalah Isi sesuatu rongga, ruang,
tempat atau kemampuan. Kemampuan adalah penguasaan sumber daya, cara dan kekuatan yang
dimiliki masyarakat, sehingga memungkinkan untuk mengurangi tingkat risiko
bencana dengan cara mempertahankan dan mempersiapkan diri, mencegah,
menanggulangi, meredam, serta dengan cepat memulihkan diri dari akibat bencana.
Kapasitas juga bisa digambarkan sebagai kemampuan (capability), Buku
Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat oleh Yayasan
IDEP (2007: xii)
Ancaman adalah kejadian-kejadian, gejala atau kegiatan manusia
yang berpotensi untuk menimbulkan kematian, luka-luka, kerusakan harta benda,
gangguan sosial ekonomi atau kerusakan lingkungan (Yayasan IDEP, 2007:xi) .
Mitigasi adalah segala bentuk langkah struktural
(fisik) atau nonstruktural (misalnya, perencanaan penggunaan lahan, pendidikan
publik) yang dilaksanakan untuk meminimalkan dampak merugikan dari
kejadian-kejadian bahaya alam yang potensial timbul. Menurut Charlotte Benson,
John Teigg dan Tiziana Rossetto (2007:120).
Teknik analisis data
merupakan suatu teknik yang dipakai seorang peneliti setelah memperoleh data.
Teknik analisis risiko yang digunakan dalam buku ini adalah berdasarkan Peraturan Kepala BNPB Tahun
2012 tentang Kajian Tingkat Risiko Bencana denang alur analisis tingkat risiko
bencan kekeringan sebagai berikut:
Gambar: Alur Analisis
Tingkat Risiko Bencana
1. Analisis tingkat ancaman bencana Kekeringan
Analisis tingkat ancaman yang digunakan dalam
analisis kekeringan meteorologis adalah analisi berdasarkan peta rawan bencana
kekeringan dari BMKG. Untuk menghitung tingkat ancaman diperlukan indeks ancaman bencana kekeringan
dan indeks penduduk terpapar. Dapat dikatakan bahwa indeks ini disusun
berdasarkan data dan catatan sejarah kejadian yang pernah terjadi pada suatu
daerah.
Dalam menentukan indeks ancaman bencana kekeringan
mengunakan peta rawan bencana kekeringan. Data yang diperoleh kemudian dibagi
dalam 3 kelas ancaman, yaitu rendah, sedang dan tinggi.
Komponen dan indikator untuk menghitung indeks ancaman
bencana dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.2: indeks ancaman bencana kekeringan
No
|
Indikator
|
Kelas indeks
|
||
Rendah
|
Sedang
|
Tinggi
|
||
1
|
Peta bahaya
kekeringan
|
Zona bahaya
sangat rendah ,
rendah
|
Zona bahaya sedang
|
Zona bahaya
sangat tinggi
tinggi
|
Sumber: Peraturan Kepala
BNPB no 2 Tahun 2012
Langkah selanjutnya adalah menghitung indeks penduduk
terpapar. Penentuan Indeks Penduduk Terpapar dihitung dari komponen sosial
budaya di kawasan yang diperkirakan terlanda bencana. Komponen ini diperoleh
dari indikator kepadatan penduduk dan indikator kelompok rentan pada suatu
daerah bila terkena bencana.
Data yang diperoleh untuk komponen sosial budaya kemudian
dibagi dalam 3 kelas ancaman, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Selain dari
nilai indeks dalam bentuk kelas (rendah, sedang atau tinggi), komponen ini juga
menghasilkan jumlah jiwa penduduk yang terpapar ancaman bencana pada suatu
daerah.
Tabel 3.3: indeks penduduk terpapar
No
|
Bencana
|
Indikator
|
Kelas indeks
|
bobot
|
||
rendah
|
sedang
|
Tinggi
|
||||
1
|
kekeringan
|
Kepadatan penduduk
|
˂ 500 jiwa/km’
|
500-1000 jiwa/km’
|
˃ 1000 jiwa/km’
|
60%
|
Kelompok rentan
|
˂ 20%
|
20-40%
|
˃40%
|
40%
|
Sumber: Peraturan Kepala BNPB no 2 Tahun 2012
Menentukan tingkat ancaman dihitung dengan menggunakan
hasil indeks ancaman dan indeks penduduk terpapar. Penentuan tingkat ancaman dilakukan
dengan menggunakan matriks dimana pertemuan antara indesk penduduk terpapar
dengan indeks ancaman menghasilkan tingkat ancaman, seperti yang terlihat pada
gambar berikut.
Tabel 3.4: Matrik Tingkat
Ancaman Bencana
Sumber: Peraturan Kepala BNPB no 2 Tahun 2012
2.
Tingkat kerugian
Indeks Kerugian diperoleh dari komponen ekonomi, fisik
dan lingkungan. Sama halnya dengan Indeks Penduduk Terpapar, indek ini
mengunakan data luas lahan produksi dan data kontribusi PDRB persektor. Data
yang diperoleh untuk seluruh komponen kemudian dibagi dalam 3 kelas ancaman,
yaitu rendah, sedang dan tinggi
Tabel 3.5: indeks kerugian
No
|
Bencana
|
Indikator
|
Kelas indeks
|
bobot
|
||
rendah
|
sedang
|
Tinggi
|
||||
1
|
kekeringan
|
Luas lahan produktif
|
˂ 50 juta
|
50-200 juta
|
˃ 200 juta
|
60%
|
Kontibusi PDRB per
sektor
|
˂ 100 juta
|
100-300 juta
|
˃300 juta
|
40%
|
Sumber: Peraturan Kepala BNPB no 2 Tahun 2012
Setelah diperoleh indeks dari kerugian maka
selanjutnya menentukan tingkat kerugian. Tingkat kerugian diperoleh dari indeks
kerugian dan tingkat ancaman bencana kekeringan. Penentuan dilaksanakan dengan
menghubungkan kedua nilai indeks dalam matriks tersebut. Warna tempat pertemuan
nilai tersebut melambangkan tingkat kerugian yang mungkin ditimbulkan oleh
suatu bencana pada daerah tersebut
Tabel 3.7: Matrik Tingkat Kerugian
Sumber: Peraturan Kepala BNPB no 2 Tahun 2012
3.
Tingkat kapasitas
Indeks Kapasitas diperoleh berdasarkan tingkat ketahanan
daerah pada suatu waktu. Tingkat Ketahanan Daerah bernilai sama untuk seluruh
kawasan pada suatu kabupaten/kota yang merupakan lingkup kawasan terendah
kajian kapasitas ini.
Indeks Kapasitas diperoleh dengan melaksanakan diskusi
terfokus kepada beberapa pelaku penanggulangan bencana pada suatu daerah. Setelah
memperoleh tingkat ketahanan daerah yang diperoleh dari diskusi terfokus, maka diperoleh
Indeks Kapasitas.
Tabel 3.6: Indek Kapasitas
Sumber: Peraturan Kepala BNPB no 2 Tahun 2012
Tingkat kapasitas diperoleh dari pertemuan
indek kapasitas dan tingkat ancaman bencana kekeringan. Berdasarkan matrik
dibawah ini:
Tabel 3.8: Matrik Tingkat Kapasitas
Sumber: Peraturan Kepala BNPB no 2 Tahun 2012
Penentuan dilaksanakan
dengan menghubungkan kedua nilai indeks dalam matriks tersebut. Warna tempat
pertemuan nilai tersebut melambangkan Tingkat Kapasitas.
4.
Tingkat Risiko Bencana
Kekeringan
Analisa tingkat risiko
bencana kekeringan digunakan untuk mengetahui seberapa besar resiko bencana
kekeringan di suatu daerah.
Tingkat Risiko Bencana ditentukan dengan menggabungkan
Tingkat Kerugian dengan Tingkat Kapasitas. Penentuan Tingkat Risiko Bencana
dilaksanakan untuk setiap ancaman bencana yang ada pada suatu daerah. Penentuan
Tingkat Risiko Bencana dilakukan dengan menggunakan matriks seperti berikut:
Tabel 3.9: Matrik Tingkat Risiko Bencana
Sumber: Peraturan Kepala BNPB no 2 Tahun 2012
Penentuan dilaksanakan dengan menghubungkan Tingkat
Kerugian dan Tingkat Kapasitas dalam matriks tersebut. Warna tempat pertemuan
nilai tersebut melambangkan Tingkat Risiko suatu bencana di kawasan tersebut.
D.
Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian
harta benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat.
Menurut Charlotte Benson, John Teigg dan
Tiziana Rossetto (2007:120), kesiapsiagaan
adalah kegiatan-kegiatan dan langkah-langkah yang dilakukan sebelum terjadinya
bahaya-bahaya alam untuk meramalkan dan mengingatkan orang akan kemungkinan
adanya kejadian bahaya tersebut, mengevakuasi orang dan harta benda jika mereka
terancam dan untuk memastikan respons yang efektif (misalnya dengan menumpuk
bahan pangan).
Kesiapsiagaan adalah
upaya menghadapi situasi darurat serta mengenali berbagai sumber daya untuk
memenuhi kebutuhan pada saat itu. Hal ini bertujuan agar warga mempunyai
persiapan yang lebih baik untuk menghadapi bencana, Yayasan IDEP( 2007:08).
1.
Contoh tindakan kesiapsiagaan
a.
Pembuatan sistem peringatan dini
b.
Membuat sistem pemantauan ancaman
c.
Membuat sistem penyebaran peringatan ancaman
d.
Pembuatan rencana evakuasi
e.
Membuat tempat dan sarana evakuasi
f.
Penyusunan rencana darurat, rencana siaga
g.
Pelatihan, gladi dan simulasi atau ujicoba
h.
Memasang rambu evakuasi dan peringatan dini
2.
Upaya
kesiapsiagaan
Upaya kesiapsiagaan dilakukan berdasarkan Peraturan Kepala Badan
Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 pada saat bencana, mulai
teridentifikasi, akan terjadi, kegiatan yang dilakukan antara lain:
a.
Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur
pendukungnya.
b.
Pelatihan siaga / simulasi / gladi / teknis bagi setiap
sektor penanggulangan bencana
c.
Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan
d.
Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik.
e.
Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan
terpadu guna mendukung tugas kebencanaan.
f.
Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini
(early warning)
g.
Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan)
h.
Mobilisasi sumber daya (personil dan prasarana/sarana
peralatan)
3. Indesk Kesiapsiagaan Masyarakat
Analisis indeks dalam penelitian ini digunakan untuk
mengetahui tingkat kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana alam, terutama
gempa bumi dan tsunami. Indeks merupakan angka perbandingan antara satu
bilangan dengan bilangan lain yang berisi informasi tentang suatu kharakteristik
tertentu pada waktu dan tempat yang sama atau berlainan LIPI-UNESCO ISDR(2006:46)
Indesk :
X 100
Agar lebih sederhana dan mudah dimengerti, nilai
perbandingan tersebut dikalikan 100. Semakin tinggi angka indeks berarti
semakin tinggi pula tingkatan preparedness dari subjek yang diteliti.
Indeks kesiapsiagaan masyarakat dalam kajian ini
dikategorikan menjadi lima, sebagai berikut :
Tabel 2.2: Indeks
Kesiapsiagaan
sumber LIPI-UNESCO ISDR/2006
4. Parameter
Kesiapsiagaan
Dalam kajian kesiapsiagaan masyarakat ada 5 parameter
kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana alam, LIPI-UNESCO ISDR(2006:13) yaitu:
a.
Pengetahuan
dan sikap terhadap risiko bencana
b.
Kebijakan dan
Panduan
c.
Rencana untuk
Keadaan Darurat Bencana
d.
Sistim
Peringatan Bencana
e.
Kemampuan
untuk Memobilisasi Sumber Daya
.
5.
Stakeholders
Utama
Dalam kajian kesiapsaiagaan ada tiga stakeholders yang
termasuk dalam kelompok stakeholders utama, yaitu:
a.
Individu dan
rumah tangga
b.
Pemerintah
c.
Komunitas
Sekolah
BAB III
HASIL PENELITIAN
1.
Tingkat Ancaman Bencana Kekeringan di Kecamatan Weru
Tingkat
ancaman bencana kekeringan di Kecamatan
Weru termasuk dalam tingkat sedang, hal tersebut dikarenakan indeks ancaman
masuk dalam tingkat rendah dan indeks penduduk terpapar dalam tingkat tinggi.
Gambar : Peta
Rawan Bencana Kekeringan Jawa Tengah
Sumber: BMKG Stasiun klimatologi Semarang
Analisis
kekeringan meteorologis di Kecamatan
Weru, Kabupaten Sukoharjo ini
berdasarkan peta rawan bencana kekeringan dari BMKG. Berdasarkan data peta rawan bencana
kekeringan dari BMKG Kecamatan Weru
memasuki daerah normal dan sebagian agak kering jadi dapat disimpulkan bahwa
indeks ancaman bencana kekeringan di Kecamatan Weru termasuk dalam kelas indeks
rendah
Kecamatan Weru
mempunyai kepadatan penduduk 1593 jiwa/km2 dan kelompok rentan 100% terhadap bencana kekeringan.
Berdasarkan data tersebut indeks penduduk terpapar Kecamatan Weru masuk dalam kelas tinggi karena
kepadatan lebih dari seribu dan kelompok rentan lebih dari 40%.
Tingkat
Ancaman dihitung dengan menggunakan hasil indeks ancaman dan indeks penduduk
terpapar. Berdasarkan kedua
indeks tersebut dapat diketahui tingkat ancaman bencana kekeringan di Kecamatan Weru termasuk tingkat ancaman
sedang.
2.
Tingkat Risiko Bencana Kekeringan di Kecamatan Weru
Tingkat
kerugian Kecamatan Weru terhadap bencana
kekeringan masuk dalam tingkat tinggi. Dalam perhitungan matrik tingkat
kerugian pertemuan tingkat ancaman yang berada pada tingkat sedang dengan
indeks kerugian yang berada pada tingkat tinggi sehingga diperoleh hasil
tingkat kerugian pada tingkat tinggi.
Tingkat kapasitas Kecamatan Weru masuk dalam tingkat rendah hal
ini disebabakan karena indeks kapasitas masuk dalam tingkat rendah sedangkan
tingkat ancaman masuk dalam tingkat sedang sehingga pertemuan kedua tingkatan
dalam matrik perhitungan tingkat
kapasitas masuk dalam tingkat rendah.
Setelah diketahui tingkat kerugian dan tingkat
kapasitas maka dapat ditentukan tingkat risiko
bencana. Tingkat risiko bencana kekeringan di Kecamatan Weru masuk dalam tingkat tinggi.
Tingkat tersebut dipengaruhi oleh tingkat
kapasitas dalam tingkat rendah dan tingkat kerugian dalam tingkat tinggi.
Sehingga dalam pertemuan kedua nilai kelas tersebut menghasilkan tingkat tinggi
pada matrik perhitungan risiko bencana kekeringan.
3.
Kesiapsiagaan Masyarakat Terhadap Bencana Kekeringan
di Kecamatan Weru
Kesiapsiagan masyarakat Kecamatan Weru secara keseluruhan dapat dikategorikan masih dalam tingkat
kurang siap, berdasarkan perhitungan indeks kesiapsiagaan dari LIPI-UNESCO ISDR (2006) Kesiapsiagan masyarakat Kecamatan Weru mempunyai nilai rata-rata 43,6 dari nilai maksimum 100. Dengan nilai indeks tertinggi di Desa Tawang
yaitu 55 dan masuk dalam tingkat
kesiapsiagaan hampir siap sedang nilai terendah di Desa Tegalsari dan Karakan
dengan nilai indeks 36 dan masuk dalam tingkat kesiapsiagaan belum siap.
Berdasarkan informasi
dari beberapa masyarakat di
Kecamatan
Weru didapat lokasi-lokasi yang rawan bencana kekeringan yaitu wilayah
Kelurahan Ngereco, Kelurahan Karangmojo, Kelurahan Karanganyar, Kelurahan
Alasombo, dan Kelurahan Jatingarang. Kelurahan Karangmojo adalah yang paling
luas daerahnya terkena bencana kekeringan.
Ditinjau dari faktor topografi desa-desa tersebut
mempunyai kelerengan yang sangat curam yaitu 5-40% sehingga bentuk
berbukit-bukit. Bila dilihat dari faktor geologi desa-desa tersebut masuk dalam
formasi mandalika, karena faktor-faktor geografis tersebut diperkirakan menyebabkan beberapa desa di Kecamatan Weru kesulitan mendapatkan air pada
musim kemarau karena berkurang atau
tidak adanya air di permukaan tanah.
Namun di desa-desa
tersebut kebanyakan telah dibangun sumur-sumur bor, pompa air dan tandon air
yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat. Seperti di Dukuh
Kalisonggo, Desa Karangmojo, masyarakat yang memanfaatkan air dari sumur bor
tersebut dikenai tarif yang berbeda-beda mulai dari 2000 rupiah sampai 3000
rupiah permeter kubik tergantung pemakaian. Semakin besar pemakaian semakin
besar pula biaya yang harus dikeluarkan. Pembangunan sumur bor atau pompa air
berasal dari bantuan seperti MOSS Peduli ataupun program pemerintah seperti
PAMSIMAS.
Gambar 4.10: Sumur bor di Dukuh Kalisonggo, Desa Karangmojo
Sumber: Data primer penelitian
Walaupun kebanyakan
sumur bor dapat berfungsi dengan baik tetapi beberapa sumur bor tersebut bila
di musim kemarau air tidak lagi mencukupi untuk kebutuhan air masyarakat
seperti di Dukuh Semak Desa Karangmojo. Pada tahun 2012 yang lalu bila musim
kemarau air hanya bisa digunakan untuk beberapa 2 RT saja. Sedang masyarakat
yang lain harus mencari air dari sumber mata air yang lain seperti sendang
(bahasa jawa) atau sungai. Untuk mengatasi hal tersebut BPBD Kabupaten
Sukoharjo berkoordinasi dengan PDAM Sukoharjo telah menyuplai tangki-tangki air
bersih 2 sampai 3 kali tiap minggu. Lain halnya di Dukuh Serut, Desa Jatingarang
program pemerintah dalam pembangunan sumur bor dinilai gagal karena setelah dibor dengan kedalaman lebih dari 100 meter tetapi tidak
ditemukan sumber air.
Sedang untuk irigasi
lahan pertanian masyarakat mengandalkan air tadah hujan dan sebagian masyarakat
mengubah lahan pertanianya menjadi hutan rakyat dengan ditanami pohon jati
seperti di
Desa Ngereco. Pertanian di Kecamatan Weru
pada bagian timur dan selatan seperti desa petani
menggunakan air tadah hujan untuk irigasi lahan pertanian, sehingga petani
hanya bisa menanam padi satu atau dua kali saja selebihnya ditanami kedelai.
Berbeda dengan daerah
utara dan barat seperti Desa Tawang, Tegalsari, Grogol, Weru, Karangtengah, dan
Karakan petani dapat menanam padi dua sampai tiga kali tiap tahun dan satu kali
kedelai. Hal tersebut dikarenakan masyarakat petani dapat mengunakan air
irigasi dari Waduk Gajah Mungkur sehingga air dapat mengalir sepanjang tahun.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Tingkat ancaman bencana kekeringan di Kecamatan Weru
Tingkat ancaman bencana kekeringan di Kecamatan Weru termasuk dalam tingkat sedang,
hal tersebut dikarenakan indeks ancaman masuk dalam tingkat rendah dan indeks
penduduk terpapar dalam tingkat tinggi.
2. Tingkat risiko bencana kekeringan di Kecamatan Weru
Tingkat risiko bencana kekeringan di Kecamatan Weru masuk dalam tingkat tinggi.
Tingkat tersebut dipengaruhi oleh tingkat kapasitas dalam tingkat rendah dan
tingkat kerugian dalam tingkat tinggi. Sehingga dalam pertemuan kedua nilai
kelas tersebut menghasilkan tingkat tinggi pada matrik perhitungan risiko bencana
kekeringan.
3. Kesiapsiagaan masyarakat masyarakat terhadap bencana kekeringan di
Kecamatan Weru.
Kesiapsiagan
masyarakat Kecamatan Weru dikategorikan
masih dalam tingkat kurang siap, berdasarkan perhitungan indeks kesiapsiagaan
dari LIPI-UNESCO ISDR (2006) Kesiapsiagan
masyarakat Kecamatan Weru mempunyai
nilai rata-rata 43,6 dari nilai maksimum 100
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang berkaitan
dengan kesiapsiagaan masyarakat
terhadap bencana kekeringan di Kecamatan
Weru, Kabupaten Sukoharjo, maka
penulis memberikan saran sebagai berikut:
1.
Saran bagi masyarakat
Setiap masyarakat memerlukan adanya pendidikan dan
pelatihan agar memahami tentang kesiapsiagaan dan manajemen mitigasi bencana
kekeringan sehingga dapat meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap
bencana kekeringan, untuk itu setiap masyarakat seharusnya mengikuti penyuluhan
atau pelatihan tentang mitigasi bencana. Masyarakat dapat melakukan upaya untuk
mengurangi resiko bencana melalui pembangunan tempat penampungan air
bersama-sama, membangun pompa-pompa air dan penghematan penggunaan air.
2.
Saran bagi Pemerintah
Daerah dan BPBD
Bagi Pemerintah
Daerah dan BPBD diharapkan agar mampu meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dengan cara mengadakan penyuluhan, seminar, dan pelatihan tentang kebencanaan kekeringan di Kecamatan Weru, dan juga mengadakan
program-program khusus pembangunan dalam menyediakan sumber air untuk
masyarakat seperti sumur bor dan penampungan air secara merata sehingga dapat digunakan oleh
semua lapisan masyarakat.
3.
Saran bagi Peneliti berikutnya
Bagi peneliti selanjutnya jika ingin melakukan penelitian
tentang kesiapsiagaan masyarakat
terhadap bencana kekeringan dapat dijadikan referensi.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Henny Pratiwi. 2011. Kondisi Dan
Konsep Penanggulangan Bencana Kekeringan Di Jawa Tengah. Artikel disajikan
dalam Seminar Nasional Mitigasi dan Ketahanan Bencana, UNISSULA, Semarang, 26
Juli 2011.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek. Edisi Revisi V. Jakarta: Rindia Cipta.
A.w. Cobrurn, dkk. 1994. Mitigasi Bencana edisi kedua.
United Kingdom: Program Pelatihan Manajemen Bencana, UNDP.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2012. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum
Pengkajian Risiko Bencana, Jakarta; BNPB.
Balai hidrologi. 2003. Permasalahan Kekeringan Dan
Cara Mengatasinya. Modul-a. Bandung: Departemen Permukiman Dan Prasaran
Wilayah.
Chulaifah. 2009. Perberdayaan Partisipasi Sosial
Masyarakat Dalam Penaggulangan Bencana Alam Kekeringan. Yogyakarta: Citra
Media.
Iqbal hasan, M. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodelogi Penelitian Dan
Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia
Yayasan IDEP. 2007. Penanggualangan Bencana Berbasis Masyarakat.
Bali; Yayasan IDEP.