Total Tayangan Halaman

Minggu, 07 Desember 2014

BUKU KEKERINGAN


[Type the document title]
Oleh
Dwi Wijanarko
    

    
    
    
 




KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan, karena berkat rahmat Allah SWT penulis mampu menyusun dan membuat buku ini. Buku yang berjudul Kesiapsiagaan Dan Bencana Kekeringan ini merupakan hasil penelitian skripsi atau tugas akhir yang berlokasi di  Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo, Propinsi Jawa Tengah pada Tahun 2013.
Buku ini banyak membahas tentang pengertian atau definisi mengenai bencana dan analisis tingkat risiko bencana kekeringan sehingga dapat digunakan sebagai refrensi untuk penelitian selanjutnya mengenai bencana kekeringan.
Apabila dalam buku ini masih banyak kekurangan baik dalam hal penyajian, penyusunan atau isi, kami mengharap kritik dan saran dari semua pihak untuk memperbaiki buku ini  karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami.
Semoga buku ini bermanfaat untuk semua pihak. Terimakasih.


Surakarta, 10 Mei 2013
Penulis



Dwi Wijanarko










DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................        i
DAFTAR ISI ........................................................       ii
ABSTRAK ...........................................................        iii
BAB I    : PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang .........................................        1
B.     Rumusan Masalah ....................................         4
C.     Tujuan Penelitian.......................................        5
D.    Manfaat Penelitian ....................................        5
BAB II  : LANDASAN TEORI
A.    Bencana .......................................................     7
B.     Bencana Kekeringan....................................      9
C.     Risiko Bencana Kekeringan.........................     9
D.    Kesiapsiagaan ..............................................     0
BAB III : ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A.     Kecamatan Weru .......................................      4
B.     Pengujian Intrumen Penelitian...................        0
C.     Diskripsi Data............................................        4
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan................................................        2
B.     Saran...........................................................       5
DAFTAR PUSTAKA............................................       1
LAMPIRAN..........................................................       1










ABSTRAK.

Bencana kekeringan selalu terjadi sepanjang tahun di Jawa Tengah. Bencana kekeringan juga terjadi di  Kecamatan Weru Seperti yang tercatat di BPBD Kabupaten Sukoharjo puncak musim kemarau Tahun 2012.
Bencana kekeringan yang terjadi setiap tahun terlihat tidak begitu besar akibatnya dalam bentuk korban jiwa tetapi  dalam bentuk kerugian materi bencana kekeringan menyebabkan kerugian yang tidak sedikit. Buku ini menjelakan pengertian dan teknik analisis tingkat dan indeks meliputi kesiapsiagan masyarakat, ancaman bencana kekeringan, kerugian bencana kekeringan, kapasitas dan risiko bencana kekeringan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini mengunakan pendekatan metode kuantitatif deskriptif.
Hasil penelitian di  Kecamatan Weru, tingkat ancaman bencana kekeringan termasuk dalam tingkat sedang, hal tersebut dikarenakan indeks ancaman masuk dalam tingkat rendah dan indeks penduduk terpapar dalam tingkat tinggi. Tingkat kerugian  Kecamatan Weru terhadap bencana kekeringan masuk dalam tingkat tinggi. Tingkat kapasitas  Kecamatan Weru masuk dalam tingkat rendah sedangkan tingkat risiko bencana kekeringan di  Kecamatan Weru masuk dalam tingkat tinggi. Kesiapsiagan masyarakat  Kecamatan Weru termasuk dalam tingkat kurang siap. 

Kata kunci : Kesiapsiagan Masyarakat, Bencana Kekeringan.




BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Bencana kekeringan selalu terjadi sepanjang tahun di Jawa Tengah. Pada tahun 2001-2007 wilayah kekeringan di Jawa Tengah terjadi pada kondisi yang sangat rawan yaitu di Kabupaten Cilacap, Wonogiri, Sukoharjo, Sragen, dan Rembang. Sedangkan yang termasuk katogori rawan adalah Kebumen, Purworejo, Klaten, Boyolali, Karanganyar, Blora dan Pati. Untuk daerah yang masuk katagori berpotensi kekeringan adalah Brebes, Tegal, Banyumas, Kendal, Semarang, Grobogan dan Kudus (Henny pratiwi adi, 2011)
Definisi kekeringan menurut Balai Hidrologi dalam Buku Permasalahan Kekeringan Dan Cara Mengatasinya (2003), adalah kekurangan curah hujan dari biasanya atau kondisi normal bila terjadi berkepanjangan sampai mencapai satu musim atau lebih panjang akan mengakibatkan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan air yang dicadangkan. Sedang bencana kekeringan adalah peristiwa (dalam hal ini kekeringan dimana suplai air berkurang atau kebutuhan air meningkat) yang mengakibatkan suplai tidak memenuhi kebutuhan.
Gambar 1: Peta Risiko Becana Kekeringan
Sumber: Peta BNPB Tahun 2010
Berdasarkan peta indeks risiko bencana kekeringan  BNPB Tahun 2010 diatas seluruh wilayah provinsi jawa tengah mempunyai resiko tinggi terhadap bencana kekeringan. Seperti Kabupaten Sukoharjo, Klaten, Tegal, Grobokan Cilacap, Brebes. Seluruh kabupaten di jawa tengah berpotensi terjadinya bencana kekeringan.
BPBD Kabupaten Sukoharjo mencatat puncak musim kemarau Tahun 2012, mengakibatkan beberapa dukuh di ,  Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo mengalami kesulitan air bersih. Maka setelah menerima laporan dari Camat Weru, BPBD Kabupaten Sukoharjo segera menindaklanjuti yaitu berkoordinasi dengan PDAM Sukoharjo dan Bakorwil II Surakarta untuk segera dropping air bersih ke wilayah kekeringan dimaksud.
Dalam  harian solopos.com edisi minggu, 12 Agustus 2012 kekeringan Karangmojo dijatah 12 tangki per pekan. Warga Sukoharjo terdampak bencana kekeringan di  Kecamatan Weru, mendapat penyaluran air bersih sebanyak 12 tangki per pekan. Kepala Dusun (Kadus) III Ngadisari, Ngateman menyebutkan bantuan air bersih diberikan empat tangki setiap penyaluran dengan tiga kali pengiriman dalam satu pekan. Namun khusus di dukuhnya, dropping air bersih sebanyak satu tangki setiap pengiriman untuk sekitar 34 kepala keluarga (KK) di RT 001/RW 009.
Melihat kejadian tersebut maka timbul banyak pertanyaan bagaimana konsep Manajemen bencana dan pengelolaan bencana yang meliputi kegiatan pada saat pra bencana, saat bencana dan pasca bencana tersebut perlu dibuat kebijakan oleh Pemerintah Daerah dan jajarannya dalam menangani kekeringan, mengapa terjadi bencana kekeringan, seberapa besar tingkat ancaman dan risiko bencana kekeringan di suatu daerah dan bagaimana kesiapsiagaan masyarakat di suatu daerah. Maka untuk menjawab salah satu pertanyaan tersebut peneliti mencoba untuk mendiskripsikanya dengan mengadaakan penelitian tentang Kesiapsiagaan Masyakat Terhadap Bencana Kekeringan.
B.     Rumusan Masalah
Semakin kompleknya dampak yang dapat terjadi dari bencana kekeringan, maka perlu adanya manajemen bencana yaitu kesiapsiagaan bencana terhadap kekeringan. Dengan dasar dan pertimbangan latar belakang tersebut  maka dapat kita rumuskan suatu permasalahan sebagai berikut:
1.      Seberapa besar tingkat ancaman bencana kekeringan (kekeringan meteorologi)  ?
2.      Bagaimana tingkat risiko bencana kekeringan?
3.      Bagaimanakah kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana kekeringan?
C.    Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1.      Mengetahui tingkat ancaman bencana kekeringan (kekeringan meteorologi).
2.      Mengetahui tingkat risiko bencana kekeringan.
3.      Mengetahui kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana kekeringan di suatu daerah.
D.    Manfaat Penelitian
Setiap penelitian diharapkan dapat berguna untuk berbagai pihak yang terkait. diharapkan kegunaan yang akan diperoleh adalah sebagai berikut :
1.      Sebagai sumbangan bagi ilmu sosial, khususnya ilmu geografi. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu geografi baik bagi ilmu murni ataupun ilmu pendidikan.
2.      Dapat memberikan informasi kepada semua pihak yang ingin memanfaatkan dan mendapatkan informasi dari hasil penelitian ini.
3.      Dapat dipakai sebagai bahan masukan bagi instansi atau lembaga yang berkompeten, terutama bagi Pemerintah Daerah  dan Badan Penangulangan Bencana Daerah setempat.












BAB II
LANDASAN TEORI

A.    Bencana
Terdapat banyak pengertian yang berbeda mengenai bencana yang digunakan oleh para praktisi di dunia. Berikut ini merupakan beberapa pengertian mengenai bencana dan bencana alam:
Menurut Charlotte Benson, dkk (2007:120), bencana adalah berlangsungnya suatu kejadian bahaya yang luar biasa yang menimbulkan dampak pada komunitas-komunitas rentan dan mengakibatkan kerusakan, gangguan dan korban yang besar, serta membuat kehidupan komunitas yang terkena dampak tidak dapat berjalan dengan normal tanpa bantuan dari pihak luar.
Bencana adalah peristiwa atau serangkaian peristiwa yang menyebabkan gangguan serius pada masyarakat sehingga menyebabkan korban jiwa serta kerugian yang meluas pada kehidupan manusia baik dari segi materi, ekonomi maupun lingkungan dan melampaui kemampuan masyarakat tersebut untuk mengatasi menggunakan sumber daya yang mereka miliki, di dalam Buku Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat oleh  Yayasan IDEP (2007:06).
Carter dalam bukunya Disaster Management-A Disaster Managers’s Handbook (1991), bencana adalah suatu kejadian, alam atau buatan manusia, tiba-tiba atau progresive, menimbulkan dampak yang dahsyat (hebat) sehingga komunitas (masyarakat) yang terkena atau terpengaruh harus merespon dengan tindakan-tindakan luar biasa.
Bencana dapat disimpulkan suatu kejadian yang ditimbulkan oleh faktor alam maupun non alam yang terjadi secara bertahap atau mendadak yang mengakibatkan kerugian seperti kehilangan jiwa manusia, kehilangan harta benda, serta kerusakan lingkungan.
1.      Manajemen Bencana
Manajemen bencana dalam Buku Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat oleh Yayasan IDEP (2007:xv) adalah proses yang sistematis dalam menggunakan keputusan-keputusan administratif, lembaga, keterampilan operasional dan kapasitas untuk menerapkan kebijakankebijakan, strategi-strategi dan kemampuan penyesuaian masyarakat dan komunitas untuk mengurangi dampak bahaya alam dan bencanabencana lingkungan dan teknologi terkait. Ini terdiri dari semua bentuk aktifitas, termasuk tindakan-tindakan struktural dan non-struktural untuk menghindarkan (pencegahan) atau membatasi (mitigasi dan kesiapsiagaan) dampak merugikan yang ditimbulkan oleh bahaya.
Siklus manajemen bencana secara umum dalam IDEP (2007:07)
Gambar 2: siklus  penanggulangan bencana
Sumber: Buku Panduan Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat Tahun  2007
a.       Pencegahan
Pencegahan adalah upaya yang dilakukan untuk menghilangkan sama sekali atau mengurangi ancaman, Yayasan IDEP (2007:08).


b.      Mitigasi atau pengurangan
Mitigasi atau pengurangan adalah upaya untuk mengurangi atau meredam risiko. Kegiatan mitigasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu fisik dan nonfisik, Yayasan IDEP (2007:08).
c.       Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan adalah upaya menghadapi situasi darurat serta mengenali berbagai sumber daya untuk memenuhi kebutuhan pada saat itu. Hal ini bertujuan agar warga mempunyai persiapan yang lebih baik untuk menghadapi bencana, Yayasan IDEP (2007:08).
d.      Tanggap darurat
Tanggap darurat adalah upaya yang dilakukan segera setelah bencana terjadi untuk mengurangi dampak bencana, seperti penyelamatan jiwa dan harta benda, Yayasan IDEP (2007:09).
e.       Pemulihan
Pemulihan adalah upaya yang dilakukan untuk mengembalikan kondisi hidup dan kehidupan masyarakat seperti semula atau lebih baik dibanding sebelum bencana terjadi melalui kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, Yayasan IDEP (2007:09).

f.       Pembangunan berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mempertimbangkan faktor risiko bencana sehingga masyarakat akan mampu mencegah, mengurangi, menghindari ancaman atau bahaya dan memulihkan diri dari dampak bencana, Yayasan IDEP (2007:09).
B.     Bencana Kekeringan
Definisi dari kekeringan menurut Balai Hidrologi (2003:2) adalah kekurangan curah hujan dari biasanya atau kondisi normal bila terjadi berkepanjangan sampai mencapai satu musim atau lebih panjang akan mengakibatkan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan air yang dicanangkan. Dengan demikian, kekeringan tersebut ada dalam konteks iklim yang mengandung pengulangan dan terjadi pada semua rezim iklim, di wilayah dengan curah hujan kecil maupun besar. Penyimpangan yang terjadi bersifat sementara tidak seperti wilayah kering lainnya (aridity) yang iklimnya bersifat permanen dan bercurah hujan kecil.
1.      Jenis Kekeringan
Menurut Henny Pratiwi Adi (2011:02) berdasarkan penyebab dan dampak yang ditimbulkan, kekeringan diklasifikasikan sebagai kekeringan yang terjadi secara alamiah dan kekeringan akibat ulah manusia. Kekeringan alamiah dibedakan dalam 4 jenis kekeringan, yaitu :
a.        Kekeringan Meteorologis
Kekeringan yang berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim di suatu kawasan. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama adanya kekeringan.
b.      Kekeringan Agronomis
Kekeringan yang berhubungan dengan berkurangnya lengas tanah (kandungan air dalam tanah), sehingga mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah gejala kekeringan meteorologis.  
c.       Kekeringan Hidrologis
Kekeringan yang berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Ada tenggang waktu mulai berkurangnya hujan sampai menurunya elevasi air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah.
d.      Kekeringan Sosial Ekonomi
Kekeringan yang berkaitan dengan kondisi dimana pasokan komoditi ekonomi kurang dari kebutuhan normal akibat terjadinya kekeringan meteorologi, hidrologi dan agronomi (pertanian).
2.      Penyebab Kekeringan
Menurut Henny Pratiwi Adi (2011:02) kekeringan tidak hanya disebabkan oleh kurangnya curah hujan saja, tetapi ada beberapa faktor lain yang berpengaruh, antara lain :
a.        Faktor Meteorologi
Kekeringan yang disebabkan oleh faktor meteorologi merupakan ekspresi perbedaan presipitasi dari kondisi normal untuk suatu periode tertentu, karena itu faktor meteorologi bersifat spesifik wilayah sesuai dengan iklim normal di suatu wilayah.
Selain dipengaruhi oleh dua iklim pulau Jawa juga dipengaruhi oleh dua gejala alam yaitu gejala alam La Nina yang dapat menimbulkan banjir dan gejala alam El Nino yang menimbulkan dampak musim kemarau yang kering.

b.      Faktor Hidrologi
Kekeringan disebabkan karena bertambahnya koefisien run-off dan berkurangnya resapan air ke dalam tanah (infiltrasi). Kondisi ini sangat berpengaruh dengan berkurangnya air yang meresap ke dalam tanah maka variabilitas aliran sungai akan meningkat dan pada musim kemarau berkurang pula debit air pada sungai-sungai sebagai sumber air yang menyebabkan kekeringan di bagian hilir sungai tersebut.
c.       Faktor Agronomi
Kekurangan kelembaban tanah menyebabkan tanah tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu, karena itu apabila para petani tidak disiplin dan tidak patuh pada pelaksanaan Pola Tanam dan Tata Tanam yang telah disepakati dan merupakan salah satu dasar untuk perhitungan kebutuhan air, maka akan mempengaruhi efektifitas dan efisiensi pemberian air untuk tanaman.
d.      Faktor Prasarana Sumberdaya Air
Dengan meningkatnya kebutuhan air untuk irigasi, air minum, industri, rumah tangga dan berbagai keperluan lainnya, maka diperlukan ketersediaan air yang lebih banyak pula, sedangkan air yang tersedia sekarang jumlahnya terbatas.
Di sisi lain prasarana sumber daya air sebagai penampung air seperti waduk, embung dan lain-lain masih sangat terbatas, disamping kondisi prasarana yang ada tersebut banyak yang rusak atau kapasitasnya menurun.
e.       Faktor Penegakan Hukum
Kurangnya kesadaran masyarakat/aparat dan belum terlaksananya penegakan hukum secara tegas menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan bencana kekeringan yaitu pencurian air, perusakan sarana dan prasarana sumberdaya air sehingga mengakibatkan kesulitan pembagian air yang akhirnya menimbulkan kerugian serta konflik antar pengguna karena tidak terpenuhinya kebutuhan air.
f.        Faktor Sosial Ekonomi
Tingkat sosial ekonomi masyarakat di sekitar sumber air mempengaruhi tingkat partisipasi dan handarbeni masyarakat akan pentingnya pelestarian sumberdaya air dan lingkungannya karena tata guna lahan yang tidak serasi.
C.    Risiko Bencana Kekeringan
Menurut BAKORNAS PB (Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana di Indonesia, 2006), dalam pengelolaan bencana (disaster managemen), Risiko bencana adalah interaksi antara kerentanan daerah dengan ancaman bahaya yang ada. Sedangkan tingkat kerentanan daerah dapat dikurangi, sehingga kemampuan dalam menghadapai ancaman tersebut semakin meningkat. Hubungan Risiko bencana, bahaya, kerentanan dan kemampuan dapat dirumuskan sebagai berikut:
R: Risk ( Risiko Bencana)
H: Hazard (Bahaya)
V: Vurnerability (Kerentanan)
C: Capacity (Kapasitas)
Bahaya adalah suatu kejadian geofisik, atmosferik (berkaitan dengan atmosfer) atau hidrologis (misalnya, gempa bumi, tanah longsor, tsunami, angin ribut, ombak atau gelombang pasang, banjir atau kekeringan) yang berpotensi menimbulkan kerusakan atau kerugian, Charlotte Benson, John Teigg dan Tiziana Rossetto (2007:120).
Kerentanan adalah potensi untuk tertimpa kerusakan atau kerugian, yang berkaitan dengan kapasitas untuk mengantisipasi suatu bahaya, mengatasi bahaya, mencegah bahaya dan memulihkan diri dari dampak bahaya. Baik kerentanan maupun lawannya, ketangguhan, ditentukan oleh faktor-faktor fisik, lingkungan sosial, politik, budaya dan kelembagaan,  Charlotte Benson, John Teigg dan Tiziana Rossetto (2007:120).
Kapasitas adalah Isi sesuatu rongga, ruang, tempat atau kemampuan. Kemampuan adalah penguasaan sumber daya, cara dan kekuatan yang dimiliki masyarakat, sehingga memungkinkan untuk mengurangi tingkat risiko bencana dengan cara mempertahankan dan mempersiapkan diri, mencegah, menanggulangi, meredam, serta dengan cepat memulihkan diri dari akibat bencana. Kapasitas juga bisa digambarkan sebagai kemampuan (capability), Buku Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat oleh Yayasan IDEP (2007: xii)
Ancaman adalah kejadian-kejadian, gejala atau kegiatan manusia yang berpotensi untuk menimbulkan kematian, luka-luka, kerusakan harta benda, gangguan sosial ekonomi atau kerusakan lingkungan (Yayasan IDEP, 2007:xi) .
Mitigasi adalah segala bentuk langkah struktural (fisik) atau nonstruktural (misalnya, perencanaan penggunaan lahan, pendidikan publik) yang dilaksanakan untuk meminimalkan dampak merugikan dari kejadian-kejadian bahaya alam yang potensial timbul. Menurut Charlotte Benson, John Teigg dan Tiziana Rossetto (2007:120).
Teknik analisis data merupakan suatu teknik yang dipakai seorang peneliti setelah memperoleh data. Teknik analisis risiko yang digunakan dalam buku ini adalah berdasarkan Peraturan Kepala BNPB Tahun 2012 tentang Kajian Tingkat Risiko Bencana denang alur analisis tingkat risiko bencan kekeringan sebagai berikut:
Gambar: Alur Analisis Tingkat Risiko Bencana
1.      Analisis tingkat ancaman bencana Kekeringan
Analisis tingkat ancaman yang digunakan dalam analisis kekeringan meteorologis adalah analisi berdasarkan peta rawan bencana kekeringan dari BMKG. Untuk menghitung tingkat ancaman  diperlukan indeks ancaman bencana kekeringan dan indeks penduduk terpapar. Dapat dikatakan bahwa indeks ini disusun berdasarkan data dan catatan sejarah kejadian yang pernah terjadi pada suatu daerah.
Dalam menentukan indeks ancaman bencana kekeringan mengunakan peta rawan bencana kekeringan. Data yang diperoleh kemudian dibagi dalam 3 kelas ancaman, yaitu rendah, sedang dan tinggi.
Komponen dan indikator untuk menghitung indeks ancaman bencana dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.2: indeks ancaman bencana kekeringan
No
Indikator
Kelas indeks
Rendah
Sedang
Tinggi
1
Peta bahaya
kekeringan
Zona bahaya
sangat rendah ,
rendah
Zona bahaya sedang
Zona bahaya
sangat tinggi
tinggi
Sumber: Peraturan Kepala BNPB no 2 Tahun 2012
Langkah selanjutnya adalah menghitung indeks penduduk terpapar. Penentuan Indeks Penduduk Terpapar dihitung dari komponen sosial budaya di kawasan yang diperkirakan terlanda bencana. Komponen ini diperoleh dari indikator kepadatan penduduk dan indikator kelompok rentan pada suatu daerah bila terkena bencana.
Data yang diperoleh untuk komponen sosial budaya kemudian dibagi dalam 3 kelas ancaman, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Selain dari nilai indeks dalam bentuk kelas (rendah, sedang atau tinggi), komponen ini juga menghasilkan jumlah jiwa penduduk yang terpapar ancaman bencana pada suatu daerah.
Tabel 3.3: indeks penduduk terpapar
No
Bencana
Indikator
Kelas indeks
bobot
rendah
sedang
Tinggi
1
kekeringan
Kepadatan penduduk
˂ 500 jiwa/km’
500-1000 jiwa/km’
˃ 1000 jiwa/km’
60%
Kelompok rentan
˂ 20%
20-40%
˃40%
40%
Sumber: Peraturan Kepala BNPB no 2 Tahun 2012
Menentukan tingkat ancaman dihitung dengan menggunakan hasil indeks ancaman dan indeks penduduk terpapar. Penentuan tingkat ancaman dilakukan dengan menggunakan matriks dimana pertemuan antara indesk penduduk terpapar dengan indeks ancaman menghasilkan tingkat ancaman, seperti yang terlihat pada gambar berikut.
Tabel 3.4: Matrik Tingkat Ancaman Bencana
Sumber: Peraturan Kepala BNPB no 2 Tahun 2012
2.      Tingkat kerugian
Indeks Kerugian diperoleh dari komponen ekonomi, fisik dan lingkungan. Sama halnya dengan Indeks Penduduk Terpapar, indek ini mengunakan data luas lahan produksi dan data kontribusi PDRB persektor. Data yang diperoleh untuk seluruh komponen kemudian dibagi dalam 3 kelas ancaman, yaitu rendah, sedang dan tinggi




Tabel 3.5: indeks kerugian
No
Bencana
Indikator
Kelas indeks
bobot
rendah
sedang
Tinggi
1
kekeringan
Luas lahan produktif
˂ 50 juta
50-200 juta
˃ 200 juta
60%
Kontibusi PDRB per sektor
˂ 100 juta
100-300 juta
˃300 juta
40%
Sumber: Peraturan Kepala BNPB no 2 Tahun 2012
Setelah diperoleh indeks dari kerugian maka selanjutnya menentukan tingkat kerugian. Tingkat kerugian diperoleh dari indeks kerugian dan tingkat ancaman bencana kekeringan. Penentuan dilaksanakan dengan menghubungkan kedua nilai indeks dalam matriks tersebut. Warna tempat pertemuan nilai tersebut melambangkan tingkat kerugian yang mungkin ditimbulkan oleh suatu bencana pada daerah tersebut
Tabel 3.7: Matrik Tingkat Kerugian
Sumber: Peraturan Kepala BNPB no 2 Tahun 2012
3.      Tingkat kapasitas
Indeks Kapasitas diperoleh berdasarkan tingkat ketahanan daerah pada suatu waktu. Tingkat Ketahanan Daerah bernilai sama untuk seluruh kawasan pada suatu kabupaten/kota yang merupakan lingkup kawasan terendah kajian kapasitas ini.
Indeks Kapasitas diperoleh dengan melaksanakan diskusi terfokus kepada beberapa pelaku penanggulangan bencana pada suatu daerah. Setelah memperoleh tingkat ketahanan daerah yang diperoleh dari diskusi terfokus, maka diperoleh Indeks Kapasitas.
Tabel 3.6: Indek Kapasitas
Sumber: Peraturan Kepala BNPB no 2 Tahun 2012
Tingkat kapasitas diperoleh dari pertemuan indek kapasitas dan tingkat ancaman bencana kekeringan. Berdasarkan matrik dibawah ini:
Tabel 3.8: Matrik Tingkat Kapasitas
Sumber: Peraturan Kepala BNPB no 2 Tahun 2012
Penentuan dilaksanakan dengan menghubungkan kedua nilai indeks dalam matriks tersebut. Warna tempat pertemuan nilai tersebut melambangkan Tingkat Kapasitas.

4.      Tingkat Risiko Bencana Kekeringan
Analisa tingkat risiko bencana kekeringan digunakan untuk mengetahui seberapa besar resiko bencana kekeringan di suatu daerah.
Tingkat Risiko Bencana ditentukan dengan menggabungkan Tingkat Kerugian dengan Tingkat Kapasitas. Penentuan Tingkat Risiko Bencana dilaksanakan untuk setiap ancaman bencana yang ada pada suatu daerah. Penentuan Tingkat Risiko Bencana dilakukan dengan menggunakan matriks seperti berikut:

Tabel 3.9: Matrik Tingkat Risiko Bencana
Sumber: Peraturan Kepala BNPB no 2 Tahun 2012
Penentuan dilaksanakan dengan menghubungkan Tingkat Kerugian dan Tingkat Kapasitas dalam matriks tersebut. Warna tempat pertemuan nilai tersebut melambangkan Tingkat Risiko suatu bencana di kawasan tersebut.

D.    Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat.
Menurut Charlotte Benson, John Teigg dan Tiziana Rossetto  (2007:120), kesiapsiagaan adalah kegiatan-kegiatan dan langkah-langkah yang dilakukan sebelum terjadinya bahaya-bahaya alam untuk meramalkan dan mengingatkan orang akan kemungkinan adanya kejadian bahaya tersebut, mengevakuasi orang dan harta benda jika mereka terancam dan untuk memastikan respons yang efektif (misalnya dengan menumpuk bahan pangan).
Kesiapsiagaan adalah upaya menghadapi situasi darurat serta mengenali berbagai sumber daya untuk memenuhi kebutuhan pada saat itu. Hal ini bertujuan agar warga mempunyai persiapan yang lebih baik untuk menghadapi bencana, Yayasan IDEP( 2007:08).
1.      Contoh tindakan kesiapsiagaan
a.       Pembuatan sistem peringatan dini
b.      Membuat sistem pemantauan ancaman
c.       Membuat sistem penyebaran peringatan ancaman
d.      Pembuatan rencana evakuasi
e.       Membuat tempat dan sarana evakuasi
f.       Penyusunan rencana darurat, rencana siaga
g.      Pelatihan, gladi dan simulasi atau ujicoba
h.      Memasang rambu evakuasi dan peringatan dini

2.      Upaya kesiapsiagaan
Upaya kesiapsiagaan dilakukan berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 pada saat bencana, mulai teridentifikasi, akan terjadi, kegiatan yang dilakukan antara lain:
a.       Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur pendukungnya.
b.      Pelatihan siaga / simulasi / gladi / teknis bagi setiap sektor penanggulangan bencana
c.       Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan
d.      Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik.
e.       Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna mendukung tugas kebencanaan.
f.       Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini (early warning)
g.      Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan)
h.      Mobilisasi sumber daya (personil dan prasarana/sarana peralatan)

3.      Indesk Kesiapsiagaan Masyarakat
Analisis indeks dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui tingkat kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana alam, terutama gempa bumi dan tsunami. Indeks merupakan angka perbandingan antara satu bilangan dengan bilangan lain yang berisi informasi tentang suatu kharakteristik tertentu pada waktu dan tempat yang sama atau berlainan LIPI-UNESCO ISDR(2006:46)
Indesk :  X 100
Agar lebih sederhana dan mudah dimengerti, nilai perbandingan tersebut dikalikan 100. Semakin tinggi angka indeks berarti semakin tinggi pula tingkatan preparedness dari subjek yang diteliti.
Indeks kesiapsiagaan masyarakat dalam kajian ini dikategorikan menjadi lima, sebagai berikut :
Tabel 2.2: Indeks Kesiapsiagaan
sumber LIPI-UNESCO ISDR/2006




4.      Parameter Kesiapsiagaan
Dalam kajian kesiapsiagaan masyarakat ada 5 parameter kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana alam, LIPI-UNESCO ISDR(2006:13) yaitu:
a.       Pengetahuan dan sikap terhadap risiko bencana
b.      Kebijakan dan Panduan
c.       Rencana untuk Keadaan Darurat Bencana
d.      Sistim Peringatan Bencana
e.       Kemampuan untuk Memobilisasi Sumber Daya
.
5.      Stakeholders Utama
Dalam kajian kesiapsaiagaan ada tiga stakeholders yang termasuk dalam kelompok stakeholders utama, yaitu:
a.       Individu dan rumah tangga
b.      Pemerintah
c.       Komunitas Sekolah






BAB III
HASIL PENELITIAN

1.      Tingkat Ancaman Bencana Kekeringan di  Kecamatan Weru
Tingkat ancaman bencana kekeringan di  Kecamatan Weru termasuk dalam tingkat sedang, hal tersebut dikarenakan indeks ancaman masuk dalam tingkat rendah dan indeks penduduk terpapar dalam tingkat tinggi.
Gambar : Peta Rawan Bencana Kekeringan Jawa Tengah
Sumber: BMKG Stasiun klimatologi Semarang

Analisis kekeringan meteorologis di  Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo ini berdasarkan peta rawan bencana kekeringan dari BMKG. Berdasarkan data peta rawan bencana kekeringan dari BMKG  Kecamatan Weru memasuki daerah normal dan sebagian agak kering jadi dapat disimpulkan bahwa indeks ancaman bencana kekeringan di  Kecamatan Weru termasuk dalam kelas indeks rendah
Kecamatan Weru mempunyai kepadatan penduduk 1593 jiwa/km2 dan kelompok rentan 100% terhadap bencana kekeringan. Berdasarkan data tersebut indeks penduduk terpapar  Kecamatan Weru masuk dalam kelas tinggi karena kepadatan lebih dari seribu dan kelompok rentan lebih dari 40%.
Tingkat Ancaman dihitung dengan menggunakan hasil indeks ancaman dan indeks penduduk terpapar. Berdasarkan kedua indeks tersebut dapat diketahui tingkat ancaman bencana kekeringan di  Kecamatan Weru termasuk tingkat ancaman sedang.

2.      Tingkat Risiko Bencana Kekeringan  di  Kecamatan Weru
Tingkat kerugian  Kecamatan Weru terhadap bencana kekeringan masuk dalam tingkat tinggi. Dalam perhitungan matrik tingkat kerugian pertemuan tingkat ancaman yang berada pada tingkat sedang dengan indeks kerugian yang berada pada tingkat tinggi sehingga diperoleh hasil tingkat kerugian pada tingkat tinggi.
Tingkat kapasitas  Kecamatan Weru masuk dalam tingkat rendah hal ini disebabakan karena indeks kapasitas masuk dalam tingkat rendah sedangkan tingkat ancaman masuk dalam tingkat sedang sehingga pertemuan kedua tingkatan dalam matrik  perhitungan tingkat kapasitas masuk dalam tingkat rendah.
Setelah diketahui tingkat kerugian dan tingkat kapasitas maka dapat ditentukan tingkat risiko bencana. Tingkat risiko bencana kekeringan di  Kecamatan Weru masuk dalam tingkat tinggi.
Tingkat tersebut dipengaruhi oleh tingkat kapasitas dalam tingkat rendah dan tingkat kerugian dalam tingkat tinggi. Sehingga dalam pertemuan kedua nilai kelas tersebut menghasilkan tingkat tinggi pada matrik perhitungan risiko bencana kekeringan.
3.      Kesiapsiagaan Masyarakat Terhadap Bencana Kekeringan di  Kecamatan Weru
Kesiapsiagan masyarakat  Kecamatan Weru secara keseluruhan  dapat dikategorikan masih dalam tingkat kurang siap, berdasarkan perhitungan indeks kesiapsiagaan dari LIPI-UNESCO ISDR (2006) Kesiapsiagan masyarakat  Kecamatan Weru mempunyai nilai rata-rata 43,6 dari nilai maksimum 100. Dengan nilai indeks tertinggi di Desa Tawang yaitu  55 dan masuk dalam tingkat kesiapsiagaan hampir siap sedang nilai terendah di Desa Tegalsari dan Karakan dengan nilai indeks 36 dan masuk dalam tingkat kesiapsiagaan belum siap.
Berdasarkan informasi dari beberapa masyarakat di  Kecamatan Weru didapat lokasi-lokasi yang rawan bencana kekeringan yaitu wilayah Kelurahan Ngereco, Kelurahan Karangmojo, Kelurahan Karanganyar, Kelurahan Alasombo, dan Kelurahan Jatingarang. Kelurahan Karangmojo adalah yang paling luas daerahnya terkena bencana kekeringan.
Ditinjau dari faktor topografi desa-desa tersebut mempunyai kelerengan yang sangat curam yaitu 5-40% sehingga bentuk berbukit-bukit. Bila dilihat dari faktor geologi desa-desa tersebut masuk dalam formasi mandalika, karena faktor-faktor geografis tersebut diperkirakan menyebabkan beberapa desa di  Kecamatan Weru kesulitan mendapatkan air pada musim kemarau karena berkurang atau tidak adanya air di permukaan tanah.
Namun di desa-desa tersebut kebanyakan telah dibangun sumur-sumur bor, pompa air dan tandon air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat. Seperti di Dukuh Kalisonggo, Desa Karangmojo, masyarakat yang memanfaatkan air dari sumur bor tersebut dikenai tarif yang berbeda-beda mulai dari 2000 rupiah sampai 3000 rupiah permeter kubik tergantung pemakaian. Semakin besar pemakaian semakin besar pula biaya yang harus dikeluarkan. Pembangunan sumur bor atau pompa air berasal dari bantuan seperti MOSS Peduli ataupun program pemerintah seperti PAMSIMAS.
Gambar 4.10: Sumur bor di Dukuh Kalisonggo, Desa Karangmojo
Sumber: Data primer penelitian
Walaupun kebanyakan sumur bor dapat berfungsi dengan baik tetapi beberapa sumur bor tersebut bila di musim kemarau air tidak lagi mencukupi untuk kebutuhan air masyarakat seperti di Dukuh Semak Desa Karangmojo. Pada tahun 2012 yang lalu bila musim kemarau air hanya bisa digunakan untuk beberapa 2 RT saja. Sedang masyarakat yang lain harus mencari air dari sumber mata air yang lain seperti sendang (bahasa jawa) atau sungai. Untuk mengatasi hal tersebut BPBD Kabupaten Sukoharjo berkoordinasi dengan PDAM Sukoharjo telah menyuplai tangki-tangki air bersih 2 sampai 3 kali tiap minggu. Lain halnya di Dukuh Serut, Desa Jatingarang program pemerintah dalam pembangunan sumur bor dinilai gagal karena setelah dibor dengan kedalaman lebih dari 100 meter tetapi  tidak ditemukan sumber air.
Sedang untuk irigasi lahan pertanian masyarakat mengandalkan air tadah hujan dan sebagian masyarakat mengubah lahan pertanianya menjadi hutan rakyat dengan ditanami pohon jati seperti di Desa Ngereco. Pertanian di  Kecamatan Weru pada bagian timur dan selatan seperti desa petani menggunakan air tadah hujan untuk irigasi lahan pertanian, sehingga petani hanya bisa menanam padi satu atau dua kali saja selebihnya ditanami kedelai.
Berbeda dengan daerah utara dan barat seperti Desa Tawang, Tegalsari, Grogol, Weru, Karangtengah, dan Karakan petani dapat menanam padi dua sampai tiga kali tiap tahun dan satu kali kedelai. Hal tersebut dikarenakan masyarakat petani dapat mengunakan air irigasi dari Waduk Gajah Mungkur sehingga air dapat mengalir sepanjang tahun.


BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan
1.    Tingkat ancaman bencana kekeringan di  Kecamatan Weru
Tingkat ancaman bencana kekeringan di  Kecamatan Weru termasuk dalam tingkat sedang, hal tersebut dikarenakan indeks ancaman masuk dalam tingkat rendah dan indeks penduduk terpapar dalam tingkat tinggi.
2.    Tingkat risiko bencana kekeringan di  Kecamatan Weru
Tingkat risiko bencana kekeringan di  Kecamatan Weru masuk dalam tingkat tinggi. Tingkat tersebut dipengaruhi oleh tingkat kapasitas dalam tingkat rendah dan tingkat kerugian dalam tingkat tinggi. Sehingga dalam pertemuan kedua nilai kelas tersebut menghasilkan tingkat tinggi pada matrik perhitungan risiko bencana kekeringan.
3.    Kesiapsiagaan masyarakat masyarakat terhadap bencana kekeringan di  Kecamatan Weru.
Kesiapsiagan masyarakat  Kecamatan Weru dikategorikan masih dalam tingkat kurang siap, berdasarkan perhitungan indeks kesiapsiagaan dari LIPI-UNESCO ISDR (2006) Kesiapsiagan masyarakat  Kecamatan Weru mempunyai nilai rata-rata 43,6 dari nilai maksimum 100

B.     Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang berkaitan dengan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana kekeringan di  Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo,  maka penulis memberikan saran sebagai berikut:
1.      Saran bagi masyarakat
Setiap masyarakat memerlukan adanya pendidikan dan pelatihan agar memahami tentang kesiapsiagaan dan manajemen mitigasi bencana kekeringan sehingga dapat meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana kekeringan, untuk itu setiap masyarakat seharusnya mengikuti penyuluhan atau pelatihan tentang mitigasi bencana. Masyarakat dapat melakukan upaya untuk mengurangi resiko bencana melalui pembangunan tempat penampungan air bersama-sama, membangun pompa-pompa air dan penghematan penggunaan air.
2.      Saran bagi Pemerintah Daerah dan BPBD
Bagi Pemerintah Daerah dan BPBD diharapkan agar mampu meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dengan cara mengadakan penyuluhan, seminar, dan pelatihan tentang kebencanaan kekeringan di  Kecamatan Weru, dan juga mengadakan program-program khusus pembangunan dalam menyediakan sumber air untuk masyarakat seperti sumur bor dan penampungan air  secara merata sehingga dapat digunakan oleh semua lapisan masyarakat.
3.      Saran bagi Peneliti berikutnya
Bagi peneliti selanjutnya jika ingin melakukan penelitian tentang kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana kekeringan dapat dijadikan referensi.
























DAFTAR PUSTAKA


Adi, Henny Pratiwi. 2011. Kondisi Dan Konsep Penanggulangan Bencana Kekeringan Di Jawa Tengah. Artikel disajikan dalam Seminar Nasional Mitigasi dan Ketahanan Bencana, UNISSULA, Semarang, 26 Juli 2011.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi V. Jakarta: Rindia Cipta.

A.w. Cobrurn, dkk. 1994. Mitigasi Bencana edisi kedua. United Kingdom: Program Pelatihan Manajemen Bencana, UNDP.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2012. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, Jakarta; BNPB.

Balai hidrologi. 2003. Permasalahan Kekeringan Dan Cara Mengatasinya. Modul-a. Bandung: Departemen Permukiman Dan Prasaran Wilayah.

Chulaifah. 2009. Perberdayaan Partisipasi Sosial Masyarakat Dalam Penaggulangan Bencana Alam Kekeringan. Yogyakarta: Citra Media.

Iqbal hasan, M. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodelogi Penelitian Dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia

Yayasan IDEP. 2007. Penanggualangan Bencana Berbasis Masyarakat. Bali; Yayasan IDEP.